Tomy Michael, Kebakaran Dan Kekuasaan Semu

  Kamis, 19 September 2019 - 07:21:49 WIB   -     Dibaca: 638 kali

Tulisan milik Tomy Michael dimuat dalam Harian Media Indonesia edisi 19 September 2019 berjudul Kebakaran Dan Kekuasaan Semu.

Penerbangan saya bersama rekan kerja menuju Tarakan dari Balikpapan dibatalkan setelah menunggu cukup lama dan besoknya baru bisa tiba di FH Universitas Borneo Tarakan dalam rangka narasumber seminar nasional tema pengelolaan SDA kelanjutan dari MoU. Pembatalan yang dikarenakan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) ini cukup merugikan banyak pihak apalagi terkait hubungan bilateral ataupun multilateral. Penerapan sanksi pidana terhadap siapapun harus segera dilaksanakan. Tidak boleh hanya mengutuk, mencaci ataupun berdemonstrasi karena dalam menyelesaikan ini yang dibutuhkan kebaruan dalam bertindak.

Perhatikan bunyi Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 yang dapat ditafsirkan salah satunya bahwa negara menguasai seutuhnya. Tetapi apakah hal demikian menjadikan negara berhak dengan leluasa mengelolah hutan-hutan tersebut. Sebetulnya hutan adat telah ada sebelum Indonesia merdeka dan masyarakat adat pun seperti suku Dayak ketika membuka lahan bisa melalukan pembakaran tetapi mereka melakukan pengawasan secara ketat sehingga tidak menyebar ke siapapun (penelitian yang dilakukan oleh Abdul Halim Barkatullah). Terlihat bahwa masyarakat adat betul-betul mencintai hutannya. Jika demikian cara baru apa yang bisa dilakukan oleh Indonesia?

Meminta bantuan negara lain untuk memadamkan dan itu tidak mengurangi harga diri kita karena meminta bantuan merupakan bagian dari hukum internasional. Cara kedua yaitu meningkatkan kualitas teknologi pemadaman yang dimiliki Indonesia dengan alih teknologi. Cara ketiga yaitu dengan mengubah paradigma bahwa hak tumbuhan dan hak hewan juga hal utama. Selama ini, hak manusia adalah hal utama padahal apapun itu berhak hidup. Pemahaman akan hak tumbuhan dan hak hewam ini harus diberikan kepada masyarakat agar keselamatan ketika terjadi karhutla tidak hanya pada manusia saja melainkan juga pada tumbuhan dan hewan. Cara terakhir menjadikan hutan di Indonesia yang kerapkali mengalami karhutla menjadi subjek hukum.

Dalam kajian hukum internasional merupakan hal yang lumrah karena subjek hukum bisa muncul karena perjanjian. Contohnya sungai Gangga yang telah menjadi subjek hukum sehingga dan diikuti oleh beberapa negara lainnya maka kebersihan dan kualitas sungai tersebut menjadi lebih baik. Walaupun hutan tersebut telah menjadi subjek hukum maka ikatan pihak yang terkait dengan hutan akan menjadi lebih kuat. Hal ini terjadi karena walaupun telah menjadi subjek hukum namun hak dan kewajiban tetap berada pada orang per orang. Keuntungan lainnya, proses penegakan hukum jadi lebih bervariatif, bisa bersandar kepada undang-undang, hukum adat, atau undang-undang uang digabungkan dengan hak khusus yang dimiliki hutan sebagai subjek hukum. Dengan demikian, ketika karhutla terjadi bisa terselesaikan sanksinya secara cepat dan tepat.

Berhubung saya sedang berada di Tarakan ketika menulis naskah Forum Media Indonesia maka sudah saatnya jerubu lenyap dari Indonesia dengan cara yang baru. Memperhatikan investor memang penting tetapi masyarakat sendiri adalah yang wajib diprioritaskan ketika karhutla terjadi. Saya berharap, kita suatu saat ketika mengucapkan pada seseorang bukan “selamat jalan dan hati-hati dijalan” tetapi “selamat jalan, semoga harimu menyenangkan”. Mengapa demikian? Karena keamanan itu adalah tanggung jawab negara terhadap masyarakatnya.


Untag Surabaya || Fakultas Hukum Untag Surabaya || SIM Akademik Untag Surabaya || Elearning Untag Surabaya